PERLUKAH MENUNGGU GILIRAN HAJI
ADAKAH PERLU MENUNGGU GILIRAN TABUNG HAJI @ MENGGUNAKAN VISA FURADA?
Jika seseorang itu MAMPU mengumpulkan perbelanjaan haji maka tidaklah perlu menunda hajinya kerana giliran VISA TH.
Jika mampu mengikat perut dan belanja berhemah semata mata membayar hutang rumah dan kereta beribu RM SEBULAN, bagaimana akan menjawab di hadapan ALLAH TAALA bahawa belum sampai giliran haji.
RM10-15K perbelanjaan haji amat besar bagi orang miskin seperti penoreh getah, nelayan dan sebagainya , namun mereka tetap berusaha menyimpan walau pun hanya 50sen sehari.
Kita lihat ramai yang telah menyempurnakan hajinya. Sempurna dan lengkap. Maka sama lah juga yang bekerjaya pendapatan 2 3ribu. Boleh menyimpan mungkin rm50 sebulan. Tapi jika kerjaya itu barkah, mungkin menyimpan RM500 sebulan.
Apa kaitan dengan kerjaya barkah ? Its simple. Jika kerjaya barkah, rezeqi itu BERLEBIHAN DAN CUKUP.
Bagaimana pula yang memang telah cukup RM10 15K untuk visa TH? Jika mampu terus menabung untuk visa furada @ swasta lain. Kos dari RM35k++ bergantung pakej dipilih.
Ikatlah perut. Menabung agar cepat melaksanakan rukun haji. Namun kesilapan kita adalah memiliki rumah dan kereta yang cantik lawa indah dipandang semasa baru dibeli.
Sanggup membayar rumah dan kereta beribu sebulan malah kadang kadang duit belanja pun meminjam. Ianya untuk memuaskan nafsu semata mata.
Buktinya, menangguhkan haji dengan alasan BELUM MAMPU @ MENUNGGU GILIRAN tapi dalam waktu sama menghabiskan puluhan ribu RM untuk renovate rumah sekadar meluaskan dapur 5kaki.
TAPI untuk pergi haji dengan kos puluh ribu rasa MERUGIKAN.
Cuba baca khutbah berikut.
*KUTBAH IEDUL ADHHA AL-HABIB AL-FAQIH ZEIN BIN IBRAHIM BIN SUMAITH*
“Hamba-hamba Allah sekalian!
Ketahuilah bahwa berhaji ke Baitul Haram adalah salah satu rukun Islam, dan salah satu penompangnya yang terbesar. Haji adalah rukun terkahir sebagai pelengkap dan penyempurna bangunan Islam.”
*Dan siapa mengabaikan rukun ini, atau terhalang oleh sesuatu setelah mampu untuk melaksanakannya, baik berupa rasa malas ataupun menunda-nunda, bererti dia telah merosak rukun mulia ini, tidak menutup Islam dengan baik, dan membiarkan bangunan Islam tidak sempurna. Jika ia mati dalam kondisi seperti ini, dikhawatirkan mati menganut agama Yahudi atau Nasrani.*
Siapa meninggalkan haji karena mengingkari kewajibannya, ia kafir berdasarkan ijma’, kekal selamanya di dalam neraka bersama orang-orang kafir dan atheis.
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”
(QS. Ali ‘Imran: 97)
Siapa yang meninggalkan haji karena malas dan mengambil ringan, seperti sentiasa menunda dari tahun ke tahun setelah mampu hingga mati, maka dia bertemu Allah dalam kondisi durhaka, dan dikhuatirkan tidak mati di atas agama islam.
Dalam hadits disebutkan;
مَنْ مَلَكَ زَادًا وَرَاحِلَةً تُبَلِّغُهُ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ وَلَمْ يَحُجَّ فَلَا عَلَيْهِ أَنْ يَمُوتَ يَهُودِيًّا، أَوْ نَصْرَانِيًّا، وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ فِي كِتَابِهِ: {وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ البَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا}
“Barangsiapa memiliki bekal dan kendaraan yang mengantarkannya menuju Baitullah Al-Haram tapi ia tidak berhaji, maka hendaklah dia mati sebagai Yahudi jika dia mau, atau sebagai orang Nasrani jika dia mau. Kerana Allah Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya,
‘Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, iaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.
Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Ali ‘Imran: 97)
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Sungguh, aku berniat mengirim surat ke sejumlah wali di berbagai wilayah untuk memungut jizyah bagi siapa yang tidak melaksanakan haji padahal dia mampu mengadakan perjalanan ke sana.”
Ketahuilah, haji adalah salah satu syariat terdahulu dan syiar yang agung.
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.”
(QS. Al-Hajj: 32)
Disebutkan dalam hadits;
“Tidak ada seorang nabi pun melainkan sudah pernah berhaji ke Baitullah.”
“Adam ‘alaihissalam melaksanakan haj, lalu para malaikat berpapasan dengannya. Mereka lantas berkata, ‘Semoga manasikmu diberkahi wahai Adam. Sungguh, kami sudah melaksanakan haji dua ribu tahun sebelummu”
“Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.”
(QS. Ali ‘Imran: 96)
Diriwayatkan, setelah Ibrahim a.s selesai membangun Baitullah, Allah memerintahkannya untuk memanggil manusia melaksanakan haji.
Ibrahim a.s berkata,
“Ya Rabb! Sampai sejauh mana suaraku?’
Allah berfirman, ‘Serulah, dan Aku yang akan menyampaikan seruanmu.’ Ibrahim kemudian naik ke atas batu pijakan Maqam dan menyerukan, ‘Wahai manusia! Telah diwajibkan atas kalian haji (berhaji ke Baitul ‘Atiq), maka berhajilah!”
Itulah firman Allah,
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)
Ibrahim a.s menyerukan seruan itu, hingga terdengar oleh siapapun yang ada di antara langit dan bumi.
Seruannya dipenuhi oleh siapa saja yang dalam ilmu Allah ditetapkan untuk berhaji hingga hari kiamat, seraya mengucapkan, “Labbaikallahumma labbaik.”
Siapa membaca talbiyah sebanyak satu kali, ia berhaji satu kali. Siapa membaca talbiyah sebanyak dua kali, ia berhaji dua kali. Dan siapa membaca talbiyah lebih dari itu, ia akan berhaji sebanyak itu pula.
Nabi saw. bersabda;
مَنْ حَجَّ هَذَا البَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa melaksanakan haji ke Bait ini, lalu ia tidak berkata kotor dan tidak berbuat maksiat, ia keluar dari dosa-dosanya seperti hari ketika dilahirkan ibunya.”
Rafats adalah hubungan badan, pendahuluan-pendahuluannya, dan kata-kata kotor. Fusuq adalah melakukan dosa-dosa besar dan terus menerus melakukan dosa-dosa kecil. Haji Anda tidak akan mabrur sebelum Anda terhindar dari seluruh kemaksiatan sejak Anda memulai ihram sampai tahallul.
*Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata kotor (rafas), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji.”
(QS. Al-Baqarah: 197)
Dalam hadits disebutkan;
العُمْرَةُ إِلَى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ
“Umrah ke umrah berikutnya adalah kafarat (doas-dosa) di antara keduanya. Dan haji mabrur itu tidak ada balasanya selain syurga.”
Ulama berkata, “Tanda haji mabrur adalah kondisi keagamaan seseorang setelah melaksanakan ibadah haji, lebih baik dari sebelumnya.”
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
“Haji mabrur adalah haji yang diterima. Tandanya adalah saat kembali dari haji, seseorang zuhud terhadap dunia, dan mengharapkan akhirat.”
Wahai muslim! Ketahuilah bahwa ilmu itu sebelum amal. Banyak orang berkali-kali datang ke Baitullah, namun tidak satu pun amalan hajinya yang diterima karena mengabaikan salah satu rukun atau syarat haji. Maka dari itu, Anda terlebih dahulu harus mempelajari apa saja rukun-rukun haji dan umrah, apa saja kewajibannya, dan apa saja yang diharamkan, agar Anda dapat menunaikan manasik haji dan umrah secara sempurna, dan terhindar dari petaka yang menggugurkan amal.
Rukun haji ada lima perkara:
Pertama; ihram, iaitu berniat memasuki manasik, dengan berniat haji atau umrah,
ATAU
keduanya. Niat dilakukan di hati, dan dianjurkan dilafalkan dengan lisan.
Kedua; wukuf di Arafah,
waktunya dimulai sejak matahari mulai bergeser ke barat pada hari kesembilan Dzulhijjah hingga terbit fajar hari Nahar. Siapa tidak mendapatkan wukuf, maka ia tidak mendapatkan haji.
Ketiga; membotakkan atau mencukur rambut.
Minima memotong tiga helai rambut kepala. Bagi lelaki, lebih baik membotakkanya, sementara bagi wanita lebih baik mencukur.
Keempat;
Tawaf ifadhah pada hari ‘eid atau setelahnya.
Syaratnya menutup aurat, suci dari hadas dan kotoran, menempatkan Baitullah di sebelah kiri, dimulai dari Hajar Aswad, dan dilakukan sebanyak tujuh kali pusingan.
Kelima;
sa’i antara Shafa dan Marwa. Syaratnya dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwa, dilakukan sebanyak tujuh kali sa’i; berangkat dihitung sati kali sa’i, dan kembali dihitung satu kali sa’i. Boleh mendahulukan sa’i setelah thawaf qudum.
Rukun umrah sama seperti rukun haji, kecuali wukuf di Arafah. Siapa meninggalkan salah satu rukun yang ditinggalkan, manasiknya tidak sah, dan ia tidak boleh tahallul dari ihramnya sebelum melaksanakan rukun yang ditinggalkan.
Perlu diketahui, siapa yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki tanggungan haji wajib dan semasa hidupnya mampu untuk mengerjakannya, maka ahli warisnya wajib berhaji menggantikannya, atau mengupah orang lain untuk mengerjakan haji menggantikannya dengan dana diambilkan dari harta peninggalannya.
Dalam hadis disebutkan;
“Barangsiapa melaksanakan haji untuk kedua orang tuanya atau menggantikan haji yang menjadi tanggungan keduanya, dia dibangkitkan pada hari kiamat dalam golongan orang-orang yang berbakti.”
Di antara amalan yang bermanfaat bagi mayit di dalam kuburnya adalah doa dan sedekah orang yang masih hidup untuknya.
Datanglah seorang lelaki kepada Nabi Saw. lalu berkata,
“Wahai Rasulullah! Kedua orang tuaku telah meninggal dunia. Apakah aku boleh berbakti kepada keduanya setelah keduanya tiada?’
Baginda menjawab,
‘Ya. Doakanlah keduanya, mohonkanlah ampunan untuk keduanya, tunaikan janji mereka berdua, berbuat baiklah kepada kawan-kawan keduanya, sambunglah tali kekeluargaan yang tidak tersambung tanpa melalui perantara keduanya, dan muliakanlah kawan mereka berdua’.”
Ketahuilah, berbakti kepada kedua orang tua termasuk salah satu tugas yang paling penting, ibadah yang paling mendekatkan seorang hamba kepada Allah, dan ketaatan yang terbaik. Sebaliknya, durhaka dan mengabaikan hak-hak orang tua termasuk kemaksiatan paling buruk, dosa paling besar, dan perbuatan haram yang paling buruk.
Maka dari itu, berusahalah sekuat tenaga untuk senantiasa taat kepada kedua orang tua, mencari redha mereka, dan membuat hati mereka senang.
Dan jangan sampai durhaka kepada keduanya, serta mengabaikankan hak-hak mereka, kerana Allah mengaitkan syukur kepada-Nya dengan syukur kepada kedua orang tua, dan mengaitkan tauhid serta ibadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada kedua orang tua.
*Allah Ta’ala berfirman,
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil’.”
(QS. Al-Isra`: 23-24)*
Wallahu a’lam